Friday, March 16, 2012

Konspirasi : Nyata atau Ilusi ?


Momen awal tahun seperti sekarang ini akan menjadi momen penting bagi Ditjen Pajak dan seluruh jajarannya, kenapa?karena di bulan Maret dan April ini masyarakat biasanya akan beramai-ramai mendatangi kantor pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakan mereka. Namun tentu saja  bukan hal yang mudah bagi Ditjen Pajak untuk meyakinkan masyarakat agar terus membayar dan melaksanakan kewajiban perpajakan mereka, mengingat saat ini mereka tengah berada dalam sorotan masyarakat atas berbagai kasus yang saat ini membelit beberapa pegawainya. Bukan hanya kasus  DW dengan heboh rekening 60 Milyarnya, namun ada pula seorang pegawai pajak non aktif bernama Ajib Hamdani yang juga diberitakan memiliki uang 17 Milyar di rekeningnya.

Berbeda dengan DW yang cenderung “tertutup”, Ajib justru sangat terbuka dengan kasus yang menimpanya itu. Melalui tiga tulisan yang ditulis di blog pribadinya, Ajib menjawab semua tuduhan tuduhan yang dialamatkan kepadanya. Melalui ketiga tulisan itu juga dia menjelaskan asal usul harta yang dimiliki dan bagaimana dia menjalankan bisnisnya selama ini secara detail, jelas dan gamblang (tulisan selengkapnya bisa sampeyan lihat disini). Meskipun blog itu hanya merupakan keterangan sepihak dari Ajib dan belum ada klarifikasi dari para penegak hukum akan kebenarannya, namun setelah membaca dan melihat cara dia menjelaskan semuanya secara runtut dan logis seperti itu, saya yakin ndak sedikit orang yang meyakini akan kebenaran cerita yang telah ia tulis itu.

Keyakinan saya semakin bertambah saat beberapa waktu yang lalu saya melihat Ajib sedang diwawancarai oleh salah satu stasiun televisi swasta perihal apa yang telah ditulisnya di blog itu. Disana Ajib terlihat sangat santai dan dengan lancar menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diberikan. Bahkan di akhir wawancara, Ajib memberikan jaminan untuk siap diperiksa kapan saja, termasuk apabila diperiksa dengan menggunakan metode pembuktian terbalik atas harta yang dimilikinya. Kalau BENAR mengapa GENTAR, mungkin itu yang ada dibenaknya saat itu.

Dari beberapa poin yang dijelaskan dalam blog itu, saya tertarik dengan penjelasan Ajib tentang kepemilikan uang 17 Milyar di rekeningnya. Menurutnya angka 17 Milyar yang beredar di media itu bukanlah saldo yang ada di rekeningnya, namun angka itu adalah angka kumulatif dari perputaran uang yang dimiliknya itu sejak tahun 2002. Gross in Gross Out, begitu Ajib menyebutnya.

Mendengar istilah itu saya jadi teringat saat beberapa waktu yang lalu pergi ke bank untuk mencetak buku tabungan saya yang hampir tiga tahun lamanya belum di cetak. Saat itu petugas teller mengatakan bahwa pencetakan ndak bisa dilakukan per transaksi namun hanya bisa dilakukan secara kumulatif yaitu hanya nilai total debet dan total kredit selama tiga tahun itu. Saya pun hanya menganggukkan kepala tanda setuju.

Setelah selesai dicetak, saya sontak kaget saat melihat nominal angka kolom debet dan kredit di buku tabungan saya, sebuah nominal angka yang tentunya sangat besar bagi seorang buruh pabrik seperti saya, namun apakah angka itu yang menggambarkan berapa jumlah harta yang sebenarnya yang saya miliki? Tentu bukan, karena angka itu bukanlah saldo tabungan yang saya miliki, angka itu merupakan angka kumulatif jumlah uang masuk dan uang keluar selama tiga tahun itu.

Lah terus sekarang angka 17 Milyar itu muncul dari mana? Kenapa dari awal media selalu memberitakan bahwa angka itu adalah saldo rekening? Serupa dengan kasus Ajib, kasus yang menimpa DW juga hampir mirip seperti itu. Dari awal kemunculan kasusnya, media selalu memberitakan bahwa DW memiliki uang 60 Milyar di rekeningnya. Nah sekarang pertanyaannya adalah apakah benar angka 60 Milyar itu adalah benar nilai saldo seperti yang ramai diberitakan atau hanya merupakan nilai Gross in Gross Out seperti apa yang dikatakan oleh Ajib tadi?

Agaknya pertanyaan saya itu sedikit terjawab saat beberapa hari yang lalu saya menyaksikan wawancara sebuah televisi dengan Jaksa Agung, Basrief Arief. Ketika dikonfirmasi wartawan tentang kebenaran jumlah rekening 60 Milyar milik tersangka DW, beliau berkilah bahwa penyidik kejaksaan ndak pernah menyebut angka 60 Milyar itu. “Nggak ada itu, saya udah tanya ke penyidik , dan jawabannya nggak ada yang menyebutkan angka 60 Milyar itu “ ujar nya saat itu (beritanya juga bisa sampeyan lihat disini). Dari situ muncullah pertanyaan besar saya, sebenarnya yang plin plan itu penyidik kejaksaan agung atau memang media yang dari awal sengaja untuk membesar-besarkan kasus ini?

“Hahaha..udah lah mas, sebaiknya memang sampeyan ndak usah terlalu dengerin berita-berita di TV itu, saat ini saya lihat berita-berita media di Indonesia udah ndak independen lagi seperti dulu, mereka telah disusupi kepentingan ekonomi dan kepentingan politik para pemiliknya” komentar Kang Bejo saat menikmati makan siang di warteg langganan kami ini.

“Maksud sampeyan gimana sih Kang, ndak independen gimana?jadi bingung sendiri saya dengernya” tanya saya penasaran

“Gini lho mas, kalau sampeyan amati, sebenarnya media-media televisi di indonesia itu ndak lebih dari sekedar alat propaganda belaka, mereka sudah ndak lagi menjunjung tinggi independensi  jurnalistik, karena sebenarnya berita-berita yang mereka tampilkan itu udah pesenan semua” lanjut Kang Bejo

“Waduh kang, sampeyan kok ya jauh banget mikirnya kesana, kalo pendapat sampeyan tentang prinsip “Bad news is good news” kemarin okelah saya setuju (cerita selengkapnya "The Next gayus(?)" bisa sampeyan baca disini), tapi kalo media dianggap hanya membela kepentingan pemiliknya dan sebagai alat propaganda kok bagi saya sepertinya kejauhan kalo mikir kesananya” balas saya

“Perlu bukti ?” tanya Kang Bejo

“Apa coba?” tanya saya penasaran

“Sampeyan tau kan kasus Lumpur Lapindo, sampeyan pernah lihat ndak berita tentang lumpur lapindo di salah satu TV yang katanya paling terdepan mengabarkan itu?” tanya Kang Bejo

“Seingat saya sih dulu pernah liat Kang, kalo ndak salah berita itu ada waktu perusahaan memberikan uang muka ganti rugi sebesar 20 persen kepada warga“ jawab saya

“Iya betul, tapi saat warga Sidorajo rame-rame demo ke Jakarta untuk menuntut kekurangan pembayaran ganti rugi di siarkan juga ndak?atau berita tentang bagaimana penderitaan warga akan dampak lumpur itu ada ndak? ndak ada kan?” jelas kang Bejo.

“Ndak pernah lihat sih kang” jawab saya menggeleng..

 “Masih perlu contoh yang lain lagi?” tambah kang Bejo

“Apa lagi coba kang?” tanya saya penasaran

“Sampeyan inget ndak beberapa waktu yang lalu saat ada pembentukan organisasi masyarakat yang katanya mengusung jargon “gerakan perubahan” itu, kalo sekarang sih mereka udah mendeklarasikan diri jadi partai politik” tanya Kang Bejo

“Owh iya iya tau, yang ketuanya orangnya brewokan itu kan kang?” jawab saya

“Pinterr...nah kalo sampeyan perhatiin, kalo dia muncul di salah satu TV dan  berbicara tentang partainya, itu bisa lama banget mas, jauh lebih lama daripada tokoh-tokoh lain yang pernah mereka wawancarai, kan itu sama aja dengan kampanye terselubung mas” lanjut kang Bejo bersemangat 

“Ehmm iya ya, lah trus tadi kata sampeyan media telah jadi alat propaganda maksudnya gimana?” tanya saya lagi.

“Lah lah..sampeyan iki piye tho mas, kok masih ndak mudeng aja. Selain jadi bos dan pemilik media, mereka itu juga kan pemimpin partai politik, lah kalo udah jadi pemimpin partai, ya udah pasti targetnya ya tentu saja pingin jadi orang nomor satu di negeri ini lah mas” jawab Kang Bejo

“Iya tau, tapi yang sampeyan maksud alat propaganda itu dimananya Kang?” balas saya

“Kalau sampeyan perhatikan, sehari-hari kita selalu disuguhi berita-berita kasus-kasus korupsi, aksi kekerasan, kejahatan merajalela dimana-mana dan berbagai macam berita-berita negatif lainnya” jawab kang Bejo

“Apa salahnya? kan mereka ndak mengada-ada dan itu memang benar-benar terjadi kang” tanya saya

 “Iya tapi kan kalo yang negatif diberitakan, berita yang baik juga harusnya diberitakan juga dong, biar fair dan berimbang, tapi nyatanya saya lihat sangat jarang bahkan hampir ndak pernah mereka memberitakan berita positif tentang keberhasilan-keberhasilan yang dicapai oleh pemerintah saat ini” kata Kang Bejo

“Jadi sampeyan menyalahkan media atas berita berita itu kang?” tanya saya

“Bukannya menyalahkan, tapi yang buat saya ndak seneng ya karena ketidakberimbangan itu, berita-berita yang dimuat sepertinya memang mengarahkan masyarakat untuk semakin menilai negatif negara ini, kalau ditengah masyarakat telah terbentuk terbentuk opini bahwa negara ini adalah negara buruk dan gagal maka tentu saja itu akan menjadi bahan kampanye yang sangat efektif buat bos-bos mereka mas” lanjut kang Bejo

“Ah sampeyan ini bisa aja Kang, mikirnya terlalu jauh kesana ” kata saya

“Omongan saya bisa sampeyan buktikan dua tahun lagi setelah pemilihan presiden tahun 2014 nanti. Seandainya salah satu pemilik media itu benar-benar terpilih  menjadi pemimpin tertinggi negeri ini, lihat apakah media yang mereka miliki itu masih bisa tetap kritis seperti sekarang atau ndak, kalau mereka masih tetap kritis seperti sekarang maka saya akui pendapat saya ini salah, tapi kalo tiba-tiba media itu berubah 180 derajat dan hanya menjadi corong pemerintah seperti TVRI saat ini, tentu saja sampeyan harus berbesar hati mengakui bahwa pendapat saya ini benar adanya” jawab Kang Bejo bersemangat.

“Oke lah, kita liat saja nanti, biar waktu yang menjawab benar atau ndaknya pendapat sampeyan ini” jawab saya

“Eh mbak Jum, mana nih kopinya? Dari tadi saya tunggu-tunggu kopinya kok belum dianter sih?”Protes Kang Bejo kepada Mbak Jum.

“Iya sabar Kang, ndak usah marah dulu, ntar cepet tua lho hehe, tadi saya itu lagi nyari gula dulu di warung sebelah, keabisan soalnya” jawab mbak Jum sambil mesam mesem

Nampaknya apa yang dikatakan Kang Bejo tentang kondisi media di Indonesia tadi bukanlah isapan jempol belaka. Ada sebuah buku berjudul Media, Culture and Politics in Indonesia yang ditulis oleh Krishna Sen, seorang Professor of Asian Media and Dean of the Humanities Research Centre at Curtin University of Technology, Perth, Australia dan David T. Hill,  seorang Professor of Southeast Asian Studies and Fellow of the Asia Research Centre, Murdoch University. Dalam buku itu mereka menyatakan bahwa kehidupan media massa di Indonesia ndak bisa dilepaskan dari kepentingan politik dan ekonomi. Hal ini bisa dilihat dari gejala semakin bertambahnya jumlah media namun jumlah orang yang memilikinya semakin sedikit, walaupun jumlah media semakin banyak namun yang punya ya sebenarnya tetap orang-orang yang sama. Akibatnya, ruang publik yang seharusnya menjadi arena demokratisasi melalui instrumen media, namun menjadi sudah ndak fair lagi karena telah disusupi oleh kepentingan politik dan ekonomi para  pemiliknya.(artikel selengkapnya bisa sampeyan baca disini dan disini)

Media sebagai salah satu lembaga penyiaran publik seharusnya bisa tampil lebih strategis dan bebas dari kepentingan para pemiliknya, meskipun konsentrasi kepemilikan media semacam itu bukanlah monopoli namun menurut saya struktur industri seperti itu mempunyai dampak serius dalam konteks ruang publik dalam bermedia. kenapa? karena pemusatan kepemilikan lembaga penyiaran swasta seperti itu dapat menggiring opini publik, lebih lebih jika pemiliknya merupakan pimpinan sebuah partai politik tertentu.

“Makanya mending nonton sinetron aja kayak saya mas, ndak perlu mumet dengerin apa kata orang-orang yang emang pinter ngomong di TV itu hehe” kata Mbak Jum sambil membawa pesenan kopi Kang Bejo.

“Abis saya ndak ada pilihan lain sepertinya mbak, sinetron Indonesia sampeyan tahu sendiri ceritanya, banyak ndak masuk akal nya” jawab saya

“Ya ndak apa-apa mas, yang penting terhibur hehe, oh ya mas, yang tadi kata sampeyan bulan Maret dan April katanya orang-orang ramai-ramai datang ke kantor pajak  itu mereka ngapain mas?” tanya Mbak Jum sambil menyodorkan segelas air hangat di depan saya

“Tentunya mereka mau laporan pajak mbak, kan tiap tahun mereka harus lapor SPT Tahunan “ jawab saya

“Loh berarti saya harus lapor juga dong mas?” tanya mbak jum

“Lah sampeyan udah punya NPWP belum? Kalo belum punya ya ndak usah lapor, buat NPWP aja dulu “jawab saya

“Udah, tapi saya buat NPWP nya di kampung mas, kan saya ndak punya KTP sini hehe “ jawab mbak Jum

“Kalo sampeyan udah punya NPWP, berarti sampeyan juga harus lapor SPT Tahunan juga mbak” jelas saya

“Waduh, pulang kampung dong?kalo harus pulang kampung cuman buat laporan pajak tahunan aja ya males mas, kegedean ongkosnya ” kata mbak Jum

“Lah ngapain repot-repot ke kampung, sekarang kan sudah ada Drop Box Pajak mbak, sampeyan bisa lapor SPT Tahunan di kantor pajak mana aja, udah online katanya” jelas saya

Dalam rangka memberikan kenyamanan dan memudahkan wajib pajak dalam melaporkan SPT Tahunan, maka sejak tahun 2009 Ditjen Pajak menerapkan sistem pelaporan yang disebut dengan Drop Box Pajak. Dengan sistem ini berarti sampeyan ndak perlu repot-repot datang ke kantor pajak tempat dimana sampeyan terdaftar untuk melaporkan SPT Tahunan, cukup datang saja ke tempat dimana kotak-kotak Drop Box itu di tempatkan. Secara fisik Drop Box adalah sebuah kotak berlogo Ditjen Pajak yang berukuran cukup besar dengan lubang seperti celengan di atasnya. Selain ditempatkan di kantor pajak yang tersebar di seluruh indonesia, Drop Box juga bisa sampeyan temui di mall, pusat bisnis, atau tempat-tempat umum lainnya yang strategis.

“Wah enak dong kalo gitu ya mas, saya jadinya ndak perlu repot-repot pulang ke kampung buat lapor pajak:)” komentar Mbak Jum saat mendengar penjelasan saya

‘Iya dong mbak, sampeyan tinggal datang aja ke kantor pajak yang paling deket disini” balas saya

“Oh ya mas, sekalian mau nanya, kemarin itu kan ada berita kalo warteg akan dikenakan pajak, kalo misalnya itu jadi, bisa dobel-dobel dong nanti saya nanti bayarnya, kalau cuman milih salah satu aja bisa ndak mas?” tanya mbak jum

“Owhh..kalo pajak warteg itu beda sama pajak penghasilan yang harus sampeyan laporin lewat SPT Tahunan itu mbak” kata saya

“Lah emang apa bedanya? sama-sama harus bayar pajak juga kan?lagian saya juga ndak tau cara ngisinya, ajarin dong mas!” tanya mbak Jum penasaran

“Ya memang sama-sama bayar pajak tapi kan beda obyek dan beda pula siapa yang memungutnya mbak” jelas saya

“Maksudnya?” tanya mbak jum bingung

Mungkin beberapa dari sampeyan berpikir kalau yang namanya kantor pelayanan pajak itu pastilah mengurusi semua hal yang berbau pajak, ndak peduli apapun namanya pajak itu. Namun yang perlu sampeyan ketahui adalah bahwa menurut lembaga pemungutnya, pajak itu dibedakan menjadi dua yaitu Pajak Pusat dan Pajak Daerah. Pajak Pusat adalah Pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat, dalam hal ini dilakukan oleh Ditjen Pajak. Contohnya antara lain Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak atas penjualan Barang Mewah (PPn BM).

Sedangkan Pajak Daerah adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, dalam hal ini dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah / Dispenda. Contohnya antara lain : Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Kendaraan Bermotor, Pajak Reklame, Bea Perolehan atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan lain sebagainya. Khusus untuk Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), saat ini di beberapa wilayah sudah diserahkan penanganannya kepada Dispenda, namun secara nasional PBB baru akan diserahkan kepada Pemerintah Daerah pada akhir tahun 2013.

“Owh gitu..tapi kan tetap aja mas, meskipun pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, tapi kalau nanti misalnya pajak warteg itu jadi diberlakukan tetap aja saya bayarnya dobel-dobel” gerutu Mbak Jum.

“ Ya ndak apa-apa tho mbak, menyisihkan sedikit harta kita buat kepentingan negara” jelas saya

“ Memangnya kalo saya bayar pajak nanti saya dapat apa? ndak dapet apa-apa kan?” tanya mbak Jum kepada saya

Mungkin banyak masyarakat merasa bahwa pajak yang telah mereka bayar itu sama sekali ndak memberikan manfaat buat mereka, padahal sebenarnya secara ndak langsung mereka juga telah merasakan manfaatnya. Bayar pajak ke negara jangan sampeyan samakan dengan bayar uang ke kasir saat sampeyan beli baju. Kalau beli baju, saat itu juga sampeyan bisa bawa pulang dan bisa rasakan manfaatnya secara langsung. Berbeda dengan bayar pajak, uang pajak yang sampeyan bayarkan itu memang ndak bisa memberikan manfaat secara langsung kepada sampeyan, namun manfaat itu bisa sampeyan nikmati secara ndak langsung dalam kehidupan sehari-hari misalnya melalui pelayanan publik, sekolah gratis melalui dana BOS, pembangunan jalan, jembatan, bangunan dan fasilitas umum, subsidi BBM dan gas, maupun pembangunan sarana prasarana serta fasilitas lain yang telah diberikan oleh negara kepada rakyatnya.

Membayar pajak merupakan wujud partisipasi sampeyan untuk membiayai keperluan negara, kalau negara ndak ada yang biayain tentu saja negara Indonesia yang kita cintai ini mungkin hanya akan tinggal nama saja.  Seperti apa yang pernah dikatakan oleh presiden Amerika, John F Kennedy, dalam pidatonya di depan rakyat Amerika. Don’t ask what your country can do for you, but ask what you can do for your country”. Seandainya sampeyan saya tanya apa yang bisa sampeyan berikan buat negara kita tercinta ini? tentu saja membayar pajak  adalah jawabannya.

Lah itu nyatanya di TV masih banyak jalan yang berlubang, masih banyak gedung sekolah dan jembatan yang roboh, nah terus itu duitnya dikemanain sama orang pajak? Masa  mereka ndak liat berita berita di TV itu mas? ” protes mbak Jum lagi

“Walah kalo pertanyaan itu sepertinya ya kurang pas kalo sampeyan tanyakan kepada orang pajak mbak, mereka kan tugasnya hanya mengumpulkan dan memungut uang pajak aja, setelah terkumpul maka nanti uang itu akan diserahkan kepada masing-masing kementerian, lembaga maupun pemerintah daerah untuk menjalankan program-program pembangunan yang telah mereka rencanakan itu” jelas saya

“Maksudnya gimana?Kok mbulet sih mas?” tanya Mbak Jum

“Maksud saya begini mbak, kalo sampeyan tanya kenapa banyak jalan rusak dan jembatan yang ambruk, ya seharusnya sampeyan nanyanya ke instansi terkait yang mengurusi pekerjaan itu, yaitu Kementerian Pekerjaan Umum dan dinas pekerjaan umum di Pemerintah Daerah. Kenapa? karena uang pajak itu telah dialokasikan kepada mereka untuk melakukan pekerjaan itu. Kalo sampeyan nanya kenapa banyak anak putus sekolah dan banyak pula sekolah roboh di negeri ini, ya tentu saja sampeyan seharusnya nanya ke Kementerian Pendidikan Nasional maupun dinas-dinas pendidikan yang di daerah” tambah saya

Bukan hanya Ditjen Pajak selaku pemungut dan pengumpul uang pajak aja yang harus sampeyan awasi, namun hendaknya semua aparatur negara baik itu pemerintah pusat, kementerian, pemerintah daerah, maupun instansi terkait lainnya juga harus sampeyan awasi, karena sebenarnya merekalah yang mengelola dan menentukan penggunaan uang pajak yang telah sampeyan bayar itu.

“Oh gitu ya, persis dengan slogan pajak yang di TV-TV itu ya mas, Lunasi Pajaknya Awasi Penggunaannya”balas mbak Jum

“Nah pinterrr, itu sampeyan tahu mbak “ balas saya sambil tersenyum

Bagi sampeyan yang saat ini telah merasa membayar dan memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar, teruslah berkontribusi untuk membangun negara kita tercinta ini. Percayalah berapapun pajak yang sampeyan bayar tentunya akan sangat berarti demi tetap tegaknya Negara yang kita cintai ini.

Bagi sampeyan yang saat ini telah memiliki NPWP dan belum melaporkan SPT Tahunan, segeralah mendatangi kantor pajak terdekat untuk melaporkan SPT Tahunan sampeyan. Perlu sampeyan ketahui bahwa batas waktu penyampaian SPT Tahunan Orang Pribadi adalah tanggal 31 Maret, sedangkan untuk SPT Tahunan Badan, batas waktu penyampaiannya adalah tanggal 30 April. Saya sarankan sampeyan ndak usah segan-segan untuk bertanya kepada petugas pajak apabila ada hal-hal yang menurut sampeyan kurang jelas atau meragukan, untuk masalah biaya ndak perlu dipikirkan karena segala jenis pelayanan yang ada di kantor pajak itu ndak dipungut biaya alias gratis.

Bagi sampeyan pegawai Ditjen Pajak, tetaplah bekerja seperti biasa dan penuh semangat, ndak usah menghiraukan omongan-omongan negatif baik dari media ataupun orang-orang disekeliling sampeyan. Kalo sampeyan merasa apa yang sampeyan kerjakan itu benar dan sesuai aturan, maka ndak perlu pula ada yang dikhawatirkan dengan pekerjaan sampeyan. Pakailah prinsip : Biarkan Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu.

Bagi sampeyan yang selama ini masih awam dengan pajak dan hanya mendapatkan informasi sepotong sepotong dari media, maka lihatlah kasus ini secara proporsional, janganlah terlalu mudah menuduhkan sesuatu yang sampeyan sendiri belum tahu akan kebenarannya. Kita percayakan aja sepenuhnya kasus ini kepada pihak yang berwenang, jika mereka bersalah tentunya mereka akan mendapat hukuman setimpal atas perbuatan yang telah mereka lakukan.

“Yuk balik Kang, udah siang, ntar bisa diomelin sama pak mandor kalo kita kelamaan makan siangnya” kata saya ke Kang Bejo

“Tapi saya tolong utangin dulu ya mas, dompetku ketinggalan” kata kang Bejo

“Oalah Kang, lupa kok terus-terusan, ya udah aku utangin, tapi ntar ganti lho ya hehe” jawab saya

"Iya tenang aja, besok gantian deh saya yang bayarin " jawab kang Bejo sambil tersenyum

“Mbak jum, berapa nih semuanya?” tanya saya sama Mbak Jum untuk membayar makanan kami.

“Buat hari ini makannya gratis deh buat sampeyan sama Kang Bejo” kata mbak Jum sambil mesam mesem

“Lho lho..Ndak usah repot-repot mbak, saya masih bisa bayar sendiri kok, lagian tumben-tumbenan sampeyan ini, lagi ulang tahun apa gimana?” tanya saya terkaget kaget

“Ndak kok mas, ndak ada apa-apa, cuman saya ada perlu dikit aja sama sampeyan” kata Mbak Jum mesam mesem sambil ngelirik ke Kang Bejo.

“Emang ada perlu apa mbak?” tanya saya penasaran

“Besok tolong ajarin saya untuk buat SPT Tahunan ya” kata mbak Jum sambil meringis

Oalah….Siyaapppppppp…:D

42 comments:

  1. Hoo... mediaa mediaa.. jadi lebih paham setelah baca ini :D

    ReplyDelete
  2. bagus bagus,,,!!! coba dikirim deh tulisannya ke media siapa tau banyak yg suka,,, hmm bener juga seh masalah media jangan terlalu percaya liat media yg lain trus analisa deh,, g bisa liat dari satu sisi aja,,, media kita skrg mg udah g murni membela rakyat,,, liat aja siapa yg punya media kbnyakan pemiliknya or politik sma,, weleh weleh,,

    ReplyDelete
  3. aku nih berkaca2 loh baca postingan ini, kalian ini buruh pabrik tp kok pinter bgt ya.. Pdhl yg pendidikannya tinggi, yg ktnya pinter, yg kaya, yg pejabat.. banyak loh yg ga paham, dan cenderung mengeneralisir 'n menyalahkan, pdhl sbnre mrka ga tau mslhnya.. tp sok2 pinter aja..'n asal ngomong.
    Aku makin jatuh cinta ma kang bejo.. #eh.. *smoga suamiku ga baca komenku ini*.. hahaha..

    ReplyDelete
  4. Tulisan mas emang Te O Pe Be Ge Te!
    Bagus nih untuk kolom di koran ^^

    Kang Bejo tambah pinter ih! Gemes aku!

    Tengkyu atas informasi yg bermanfaat ini loh mas!

    ReplyDelete
  5. Beginilah kalo pegawe DJP udah bicara... pokonya bayar pajak aja :D

    Aduh aku belum buat NPWP nih mas. males ntr punya kewajiban bikin SPT lagi.
    Lagian penghasilanku juga lebih kecil dari penghasilan tidak kena pajak. Hehehe.

    Eh... kalo gitu aku kalah dong sama Mbak jum??!

    ReplyDelete
  6. Masih tentang pajak ya mas?

    walaupun panjang tapi informatiff, dan cara penyajiannya maknyusss..

    setuju banget mas, media kini emang gak imbang.
    bad news good news, lah..namanya juga berduit mas..

    kita2 yang gak berduit ini ya bisanya woro-wiri di blog. tapi dikit yang baca..:(

    heheh, keep writing mas.
    selalu menunggu petuah Kang Bejo, biar tambah pinterr

    ReplyDelete
  7. media dalam bentuk apapun, cetak atau elektronik, selalu punya kans besar menciptakan hegemoni. terus menerus membicarakan kesalahan, ujungnya bisa2 malah jdi kebenaran. tentu sja, tidak menjamin nilai kebenarannya adalah benar.

    kadang qt dituntut jadi selektif. tp mo gimana, qt "penikmat", yg paling tau pasti org sekitar yg berkasus, atau paling tdk yg pernah mengecap kondisi yg sma. di sisi lain, masyarkt makin lama makin apatis, makin nyaman dicekoki hegemoni.

    ReplyDelete
  8. Serasa jadi orang ke empat dalam obrolan di atas... yang terdiam dan nguping mendengarkan obrolan mereka... :D

    ReplyDelete
  9. @armae :Ada untungnya juga kan kalo kamu ga nonton berita, mending nonton sinetron aja seperti Mbak Jum :D

    ReplyDelete
  10. @sri : meskipun bener banyak yang suka, tapi apa mereka mau memuat tulisan ini?? =))

    ReplyDelete
  11. @Mbak Cova : Di sebelah saya Kang Bejo mesam mesem aja baca komen sampeyan mbak,katanya mau dijadikan yang kedua =))

    ReplyDelete
  12. @Mbak Mayya : Terima kasih mbak udah berkenan mampir, kang Bejo makin laris aja nih, makin banyak aja fans-fans ceweknya :D :D

    ReplyDelete
  13. @Yan : emang buruh pabrik ndak boleh tahu tentang pajak ya? :-/

    ReplyDelete
  14. @Jangnisa : makanya bantu share biar banyak yang baca =))

    ReplyDelete
  15. @Acilong : wah top banget komentarnya, saya jadi teringat dengan Joseph Goebbe, seorang menteri propaganda Adolf Hitler, dia mengatakan jika suatu kebohongan diucapkan terus menerus sebanyak 9x kepada orang yang sama, maka kebohongan itu bisa dianggap sebagai kebenaran.

    ReplyDelete
  16. @sam : udah biasa nguping ya? =))

    ReplyDelete
  17. Waduuhh,.. males pisan mas nonton sinetron. Turu ae,.. turu. Wkwkwkwkwk

    ReplyDelete
  18. weew.. keyen..
    ijin share yaa
    :)

    ReplyDelete
  19. klo g dicoba yah kan g tau hasilnya suka pa gaknya org,, hehe

    ReplyDelete
  20. hmmmmm.... aku kayaknya mesti gimana gitu sama mas. aku yang anak hukum aja ga begitu expert banget sama topik yang lagi mas bahas... tapi mas yang hanya buruh (maaf) keliatannya expert nih. hehehe.. salut sama pemikiran kritisnya... salut juga sama cara ngemas ke dalam tulisannya itu. :)

    ReplyDelete
  21. di atas ada gambar hukum yach sobat, membicarakan soal hukum saya jadi bingun dan tidak mengerti sobat..

    izin menyimak tulisannya saja sobat...

    ReplyDelete
  22. Aku jadi pendengar setia aja, ya Mas Seagate :D

    ReplyDelete
  23. Dua hal besar terjadi di negeri ini tapi memberikan dua efek negatif besar juga. 1. Kebebasan berpolitik 2. Kebebasan Media. Dasarnya kebebasan 2 hal ini memang bagus. Tapi kemudian akibatnya muncul politikus yg bukan negarawan yg memunculkan aturan dan kebijakan serta perilaku politik yang tidak menguntungkan rakyat. Kemudian Muncul jurnalis-jurnalis komersil yang memproduksi informasi yg sarat kepentingan buat masyarakat. Dua hal di atas menimbulkan ketidakstabilan emosi massa sehingga menimbulkan sifat emosional, muak dengan politik, suka ngegosip/ngomong politik tanpa ilmu dll. Selain juga jadi semakin cerdas tentunya. Berharap masa ini cepat berlalau seiring dengan dewasanya bangsa ini. Saya sih lebih consern memikirkan perbaikan dari lembaga Rumah Tangga dulu...silahkan cek di samarakita.net

    ReplyDelete
  24. Hahaha! Saya awam soal finansial, fiskal dan lainnya (apalagi aktuaria). Kalo cetakan gabungan transaksi umum memang gede. Selain itu, laporan "aset" kan juga gak melulu duit tunai -- tapi sebagian orang awam sulit menganggap semua kekayaan adalah berupa simpanan uang. :D
    Memang sih, orang media harus belajar, tak hanya silau soal "magnitude" dan "numbers" demi kelayakan berita. :)

    ReplyDelete
  25. selalu mantap ini abang satu ini postingannya...:D
    meroket dah blognya. ijin menyimak aja bang...

    ReplyDelete
  26. Kunjungan siang mas, aku belum juga punya NPWP lho, kalah sama kang bejo deh ya :)
    Dan bener banget, kita itu nggak sadar bahwa kita juga menikmati pajak itu, pelayanan publik, sekolah gratis, dan subsidi2. Mata kita udah tertutup dan telinga udah tersumpal dengan pemberitaan nggak enak di media tentang pegawai pajak yang katanya 'nakal', menjadikan kita nggak melihat dari sisi positif. Yuk bayar pajak...

    ReplyDelete
  27. @ mas bagus : iya ya mas, kurang pas juga kalo ngurusin orang tapi rumah tangga kita malah ndak keurus :)

    ReplyDelete
  28. @mas antyo : sepertinya sampeyan cocok jadi orang media mas :)

    ReplyDelete
  29. @yuud : makasih bro udah mampir, sering sering aja ya kesini =))

    ReplyDelete
  30. @wury : Sebelum bayar tentu saja harus punya NPWP dulu, yuk diurus NPWP nya..gratis kok bikinnya :)

    ReplyDelete
  31. Kunjungan sore mas
    Maaf mas baru berkunjung soalnya lagi ujian
    -___-
    Memang yah media itu selalu dan selalu beritanya soal korupsi, demo, bencana, kecelakaan, gosip miring
    haduuh pusing
    apa secarut- marut itukah Indonesia?
    Apa gak ada yang bagus tah dari negeri kita?

    ReplyDelete
  32. Memang harus dijelaskan, bila benar mengapa takut ya. Media emang suka berulah tapi jangan menyerah :)

    ReplyDelete
  33. mampir lagi sobat menyambung silahturahmi dan melajutkan membaca, soalnya kemarin cuman baca dikit soalny keburu waktu sobat...

    ReplyDelete
  34. baru bisa mampir lagi... ngomong soal pelaporan pajak, hari ini kantorku beramai2 mo lapor pajak :D
    miris tapi memang harus diakui,indepedensi jurnalistik mulai luntur di negeri kita ini >.<

    ReplyDelete
  35. @Rizky : sebenarnya ya banyak hal positif dari negeri kita, tapi kalo ga diberitain ya ndak tau :)

    ReplyDelete
  36. @Mbak Yunda : setuju 1000 % mbak hehehe

    ReplyDelete
  37. @mas Asis : ndak apa-apa mas, yang penting apa yang ingin saya sampaikan bisa sampeyan tangkap maksudnya :)

    ReplyDelete
  38. @mbak ranny : yuk ikutan berpartisipasi untuk lapor pajak :)

    ReplyDelete
  39. saya nggk mengerti masalah hukuum tapi setelah baca postingan agan jadi tau ane :D

    ReplyDelete
  40. kalo udah kayak gini kadang jadi bingung ngebedain mana yang bener mana yang salah.. media cenderung juga membawa opini masyarakat, dan mengarahkan kemanaa.

    ReplyDelete
  41. bayar pajaknya awasi penggunannya...
    jd yg diawasi adalah kementrian atau lembaga yg melaksanakan amanat hasil dari pajak....
    :P



    btw,,ijin coopy ya mas...
    dan kemungkinan akan saya repost jg...
    jika kurang berkenan message saya di fb saya (dihas enrico)
    terimakasih
    :)

    ReplyDelete