Thursday, August 4, 2011

Sekolahku di Bom


Masa kecil bagi setiap orang adalah sesuatu yang istimewa, karena pada saat itulah biasanya ada peristiwa “istimewa” yang akan terus diingat sampai dia dewasa kelak. Bagi sebagian orang peristiwa istimewa itu bisa berupa kejadian yang lucu, senang, bahagia, tetapi mungkin bagi sebagian yang lain bisa berupa kejadian sedih, susah dan menyakitkan hati. Tetapi bagi saya, pengalaman kecil saya kali ini adalah gabungan dari semua perasaan diatas, kalau dalam tulisan saya sebelumnya "Itong" menceritakan kejadian tragis ketika saya hampir tewas karena terjungkal dalam sebuah tong, kali ini saya akan menceritakan pengalaman kecil saya yang lain.

Kurang lebih 22 tahun yang lalu, Ibu menyuruh saya untuk pergi ke sebuah warung yang terletak tidak begitu jauh dari rumah, setelah menerima sejumlah uang akhirnya saya pun berangkat kesana dengan berjalan kaki. Ketika sedang asyik berjalan, tiba tiba ada suara yang memanggil-manggil nama saya.

Saya lihat ada beberapa anak muda yang lagi cangkrukan (nongkrong) di sebuah gardu pos kamling yang berada di pinggir jalan. Tetapi dari mereka semua, ada satu orang yang terlihat berbeda dengan badan sedikit tambun dan berambut keriting, Cak Sikin, begitu biasa saya memanggilnya.

“Git..git..kesini sebentar” panggil dia sambil melambaikan tangannya
“Ono opo Cak ?” saya membalas cepat
“Kesini bentar, aku mau ngasih tau kamu sesuatu” bujuk dia
“Ndak ah saya buru-buru, udah ditungguin Ibu di rumah”jawab saya enggan
“Kesini bentaaaar aja, penting ini” bujuk dia, saya pun mengalah dan mendatanginya

“Kamu mau kemana?” tanya Cak Sikin cepat
“Mau ke warung Cak, disuruh ibu beli kecap, emang kenapa?” tanya saya balik
“Kamu kok ndak sekolah?” lanjut dia
“Ndak Cak,aku kan masih kecil, kata Ibu nanti aja kalo dah besar baru sekolah”
“Wah, kamu harus cepet cepet sekolah Git, kalo kamu telat sekolah, nanti sekolahmu mau dibom, jadi kamu gak bisa sekolah lagi”
“Ah bohong sampeyan cak, Beneran itu??” tanya saya dengan serius
“Iya beneran. Kalo ndak percaya, tuh lihat si Dadan..Dia sekolah kan hari ini?” sambil tangannya menunjuk ke arah seorang ibu yang menggandeng anaknya yang berseragam SD lengkap dengan topi dan dasinya.
”Sekarang semuanya sekolah semua, makanya kamu cepetan sekolah juga, biar ndak ketinggalan” lanjut Cak Sikin. Tanpa bertanya lagi, saya pun segera berlari pulang.

Hari itu adalah hari yang istimewa bagi sebagian temen-temen saya, kenapa istimewa?karena hari itu adalah hari pertama masuk sekolah bagi mereka, memang pada hari sebelumnya mereka bercerita telah dibelikan tas dan sepatu baru karena mau masuk sekolah. Saya sendiri waktu itu belum akan masuk sekolah, karena umur saya waktu itu belum 6 tahun, sebenarnya sih bisa masuk TK tetapi Ibu saya maunya langsung SD, biar ngirit katanya, tapi alasan sbnrnya sih memang belum ada uang aja :)

Setelah Cak Sikin menyelesaikan aksinya, maka seketika itu saya pun langsung lari pulang untuk minta sekolah, saya juga heran kenapa waktu itu saya kok percaya banget sama dia ya, membeli kecap yang tadinya menjadi prioritas seolah langsung berubah menjadi keinginan untuk bisa sekolah pada hari itu juga.

Dari depan rumah saya sudah menangis dan berteriak memanggil ibu untuk minta sekolah.Ibu yang sedang berada di dapur tampak kaget dan bingung ketika melihat saya berlari menghampirinya.

”Kamu itu kenapa?kok datang-datang teriak teriak..mana kecapnya” tanya ibu dengan wajah bingung

”Aku mau sekolah sekarang bu, kata Cak Sikin klo nggak sekolah sekarang, nanti sekolahnya mau dibom” Jawab saya dengan sedikit panik

”Kamu itu masih kecil nak, belum cukup umurnya, tahun depan saja nanti ibu daftarkan sekolah SD, Cak Sikin itu bohong, jangan percaya sama dia” kata Ibu yang berusaha menenangkan saya. Tapi penjelasan ibu ternyata sia sia, saya tetep keukeuh untuk ingin sekolah.

Ibu telah berulangkali memberi pengertian kepada saya tapi saya tetap ndak mau berhenti menangis, lama kelamaan ibu kesal juga sehingga saya dibiarkan menangis begitu saja. Merasa diacuhkan maka saya marah semakin menjadi-jadi, beberapa kali saya lempari pintu rumah dengan batu sambil teriak ”sekolaaaaahhhhhhhhh” .

Melihat kemarahan saya yang semakin menjadi jadi akhirnya Ibu pun mengalah, beliau akhirnya mengiyakan kemauan saya dan mengatakan akan didaftarkan sekolah sekarang juga, seketika itu saya pun langsung berhenti menangis.

Ibu saya adalah anak kedua dari empat bersaudara, mereka sudah menjadi yatim piatu sejak masih sangat kecil, bahkan ibu sendiri mengaku tidak ingat lagi bagaimana wajah kedua orang tuanya, maka sejak meninggalnya orang tua beliau, ibu dan adik-adiknya tinggal dan di asuh di rumah neneknya (buyut saya).

Ketika menyadari bahwa uang yang ada tidak mencukupi untuk mendaftar sekolah, maka Ibupun mengajak saya untuk ke rumah buyut untuk meminjam uang untuk tambahan uang .Untungnya Buyut mempunyai sebuah celengan dan beliau pun rela menyerahkannya kepada Ibu untuk biaya mendaftar sekolah.

Dengan berbekal uang logam dari celengan yang dibungkus dalam kantong plastik, maka kami pun pergi ke sekolah dengan berjalan kaki. Di sepanjang itu perjalanan saya tidak henti henti untuk bicara dan menanyakan berbagai macam hal tentang sekolah, saya bener bener senang dan ndak sabar untuk segera masuk sekolah.

Sesampainya disana saya melihat banyak ibu-ibu yang duduk -duduk di depan kelas, ada juga beberapa yang mencoba mengintip lewat jendela, mungkin mereka penasaran dengan nasib anak anak mereka di dalam kelas. Ibu pun bertanya pada salah satu ibu dimana letak ruang kepala sekolah.

Setelah menemukan ruangan tersebut, maka kami pun langsung masuk. Beliau mempersilahkan kami duduk di dua buah kursi di depan meja beliau, walaupun sudah terlihat tua dan uban sudah banyak menghiasi kepala, tetapi beliau masih terlihat gagah dengan pakaian safarinya.Tiba-tiba saya tertarik dengan sebuah tulisan yang ada di dada beliau, walaupun awalnya kesulitan tapi saya akhirnya berhasil mengeja dan membacanya ”Drs.Bisri Budarso”, itulah nama beliau.

”Ada apa bu, ada yang bisa saya bantu?” dengan ramah beliau memulai pembicaraan.
Maka kemudian Ibu menceritakan semua kejadian sebelumnya dan mengutarakan niatnya untuk mendaftarkan saya di sekolah ini. Setelah mendengarkan Ibu kemudian beliau berkata ”Wah belum bisa ini bu, umurnya belum 6 tahun, anak ibu masih terlalu kecil ini, tahun depan aja balik kesini lagi”.

”Tapi anaknya dah bisa baca sama nulis kok pak, kalau ndak percaya coba suruh tulis namanya aja ” balas ibu dengan sedikit cemas.

”Lebih baik masuk TK dulu aja, nanti kalo dah pinter baru kesini lagi ya” Jawab beliau sambil memandang ke arah saya.

”Tuh kan Git, belum boleh kan masuk SD ? masuk TK aja ya nak” bujuk ibu kepada saya
”Ndak mauuuuu, aku mau sekolah SD” teriak saya keras.

”Ndak naik kelas juga ndak apa apa pak,yang penting dia bisa sekolah sekarang”pinta ibu dengan sedikit memelas. Pak Bisri tetap bergeming, beliau masih tetap tidak mengijinkan saya sekolah disana hanya karena saya dianggap masih terlalu kecil dan belum layak masuk SD.

Dalam perjalanan pulang saya terus menerus menangis, Ibu sudah bingung harus bagaimana lagi untuk membuat saya diam. Sesampainya di rumah saya pun langsung masuk ke kamar dengan tetap menangis tersedu-sedu. Setelah beberapa lama, akhirnya datang seseorang yang saya anggap sebagai ”malaikat penolong”


Dari dalam kamar terdengar seseorang yang masuk ke rumah dan membicarakan sesuatu dengan Ibu di dapur, dengan ciri khas suara kerasnya saya langsung tau dia pasti pak lik / ohm saya. Suhandoko namanya, tapi saya biasa memanggil beliau Lik Ndoko. Mungkin karena beliau agak terganggu dengan suara tangis saya, maka beliau pun langsung bertanya pada Ibu.


”Sopo iku sing nangis Ning? Isuk isuk wis nangis ae..” tanya beliau kepada Ibu

“Sigit..., dari tadi nangis terus gara-gara pingin sekolah tapi ndak boleh sama kepala sekolah ” jawab ibu ”Nggak boleh kenapa?”tanya beliau sekali lagi
Ibu pun menceritakan semua kejadiannya, sejenak kemudian beliau ternyata mempunyai solusi cerdas atas masalah ini.

”Sekolahin ke SD Masjid aja Ning, Sigit pasti diterima kalau masuk sekolah di sana, wong disana kekurangan murid kok, ” jelas beliau

Beliau pun masuk ke kamar dan menawarkan kepada saya untuk bisa sekolah di sana, tanpa berpikir panjang saya pun langsung menganggukkan kepala sebagai tanda setuju. Dengan dibonceng sepeda maka saya pun langsung berangkat bersama beliau untuk bertemu kepala sekolah SD Masjid. Sesuai dengan pesan Ibu sebelum berangkat, Lik Ndoko pun menyampaikan pesan Ibu kepada Kepala sekolah untuk bisa “menitipkan” saya di sekolah ini, walaupun nantinya ndak naik kelas juga ndak apa-apa, yang penting saya bisa sekolah aja. Singkat cerita akhirnya Kepala Sekolah pun mengijinkan saya untuk sekolah disana, maka seketika itu saya langsung meloncat kegirangan seraya bersorak kegirangan “HOREEEEEE saya bisa sekolah” hehehe


SD Masjid adalah sebutan untuk sebuah Sekolah Madrasah Ibtidaiyah di tempat saya, orang-orang menyebutnya SD Masjid karena memang gedungnya persis di sebelah Masjid Assyuhada, masjid terbesar di kampung saya.Pada saat itu SD Masjid memang termasuk sekolah baru, mereka hanya punya murid sampai kelas tiga saja dan jumlah muridnya pun tidak lebih dari 20 orang tiap kelas.Maka jadilah SD Masjid saat itu dianggap sebagai sekolah nomor dua, sekolah yang kalah jauh pamornya dibandingkan dengan SD Negeri.

Sebagai siswa yang menyandang status “anak titipan” dan berusia paling muda diantara teman - teman sekelas ternyata tidak membuat saya kesulitan mengikuti pelajaran, bahkan sebaliknya, saya mampu berprestasi dan selalu berhasil menjadi ranking satu disana. Tidak ada seorang pun yang menyangka sama sekali akan hal itu.

Walaupun begitu, ada tanggapan miring dari salah satu temen sepermainan saya di rumah. Dengan wajah meremehkan dia mengatakan “Pantes aja Git kamu ranking satu terus disana, wong temenmu sedikit..Coba kalo kamu sekolah di sekolahku (SD Negeri maksudnya), kamu ndak bakal jadi ranking satu deh..anaknya pinter pinter di sana”, mendengar perkataan dia saya pun hanya diam dan tidak menggubrisnya, padahal dalam hati saya bilang ”awas kamu ya, kita tunggu buktinya”

Tetapi sebenarnya bukan karena alasan itu yang membuat saya ingin sekolah di SD Negeri, ada alasan lain yang menurut saya lebih masuk akal dan logis. Pada suatu hari saat liburan kenaikan ke kelas 4, saya bermain ke rumah salah satu saudara sepupu ibu, Mbak Uci biasa saya memanggilnya, waktu itu dia masih duduk di kelas satu di salah satu SLTP Negeri di Surabaya. Dia menyarankan kepada saya untuk segera pindah ke SD Negeri saja, karena pada tahun ini lulusan perdana SD Masjid tidak ada satupun yang bisa masuk SLTP Negeri.

Menurut Mbak Uci, penyebab kegagalan itu karena jumlah pelajaran di SD Masjid terlalu banyak sehingga mereka tidak bisa fokus kepada pelajaran yang diujikan di EBTANAS, akibatnya NEM nya rendah dan tidak bisa masuk SLTP Negeri.

Bersekolah di SD Masjid memang agak berbeda dibandingkan dengan SD Negeri, selain beda warna seragamnya, jumlah mata pelajaran disana juga lebih banyak dibandingkan dengan mata pelajaran di SD negeri pada umumnya. Kalau di SD negeri hanya ada satu mata pelajaran Agama, maka di SD Masjid mata pelajaran agama dibagi lagi menjadi beberapa mata pelajaran seperti Fiqih, Aqidah Akhlak, dan Bahasa Arab serta banyak juga kegiatan kegiatan keagamaan lain.

Dengan alasan tak ingin gagal masuk SLTP Negeri, maka saya pun mempertimbangkan saran Mbak Uci untuk segera pindah sekolah. Setelah berkonsultasi kedua orang tua, akhirnya mereka pun setuju mengenai rencana saya ini. Tetapi ada sedikit masalah dengan kepindahan saya ini, menurut Mbak Uci, proses pindah sekolah memang tidak bisa serta merta pindah begitu aja, sekolah lama harus memberikan ijin dengan mempertimbangkan alasan kepindahan yang logis, tetapi saya sendiri ndak yakin kalau pihak sekolah akan mengijinkan saya pindah kalau alasan yang saya pakai adalah karena saya tidak ingin gagal masuk SLTP Negeri, sebuah alasan yang mungkin sangat menyinggung perasaan pihak sekolah. Akhirnya kami pun memutuskan untuk langsung kabur dan tidak perlu minta surat keterangan pindah terlebih dahulu karena tidak menemukan alasan yang tepat untuk pindah.

Dengan hanya berbekal raport sampai kelas tiga, saya dan Ibu langsung berangkat ke sekolah untuk langsung menemui Kepala Sekolah di ruangannya, dan ternyata Pak Bisri masih menjadi kepala sekolah disana. Saya tidak pernah lupa kejadian tiga tahun lalu, saat beliau menolak saya untuk bersekolah di sana hanya karena saya belum cukup umur. Kami pun dipersilahkan duduk dan Ibu memulai pembicaraan dan menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan kami untuk pindah ke sekolah ini.

“Kalo mau pindah, surat keterangan pindah dari sekolah lamanya mana bu?”Tanya beliau
“Ndak punya pak, saya belum ke sekolah yang lama” jawab ibu
“Ya ndak bisa tho bu, harus ada surat pindahnya, emang kenapa ini kok pindah?”
”Jangan jangan anak ibu nakal ya” tanya beliau dengan sedikit curiga

Akhirnya ibu pun menceritakan alasan kenapa saya pindah dengan sebenarnya dan berharap agar saya bisa sekolah disini agar anaknya bisa masuk SLTP Negeri.
“Mungkin ini bisa jadi ganti surat pindahnya pak” kata ibu sembari menyerahkan raport saya..Setelah beberapa lama membolak balik halaman rapot, beliau mengangguk-anggyk dan sedikit tersenyum.

“Oke, besok langsung masuk aja, masuk ke kelas IVA dengan Ibu Ima” kata beliau sambil tersenyum

Mendengar perkataan beliau tadi maka saya sangat senang dan terlihat juga senyum mengembang di wajah Ibu, kami pun pulang dengan tidak lupa mengucapkan banyak ucapan terima kasih kepada beliau.

Sebenarnya saya sendiri merasa ndak enak hati dengan teman teman saya di SD Masjid. Tidak semestinya saya langsung kabur aja tanpa ada informasi terlebih dahulu ke pihak sekolah, saya juga sebenarnya khawatir juga apabila nanti suatu hari bertemu mereka dan membayangkan betapa malunya saya.

Dari rumah, jarak SD Negeri memang lebih jauh dibandingkan dengan SD Masjid, untuk berangkat kesana saya harus melewati SD Masjid terlebih dahulu, sebenarnya ada jalan lain tetapi waktu tempuhnya jadi lebih lama karena saya harus jalan memutar.Karena ketakutan saya untuk bertemu temen-temen di SD Masjid, maka setiap saya berangkat sekolah dan melewati SD Masjid, saya selalu berjalan lebih cepat dan berlindung dibalik temen temen saya agar tidak terlihat mereka.

Beberapa hari kemudian ternyata hal yang saya khawatirkan benar benar terjadi, ketika sedang melewati SD Masjid sepertinya ada salah satu temen yang melihat saya berjalan bersama beberapa orang anak SD Negeri, saya memakai memakai celana warna merah, bukan celana warna hijau yang menjadi ciri khas SD Mesjid. Tiba tiba dia berteriak memanggil-manggil nama saya, karena malu saya pun tidak menggubrisnya, saya terus berjalan dan pura-pura nggak denger aja. Sialnya kejadian ini terus aja berulang, semakin hari semakin banyak aja temen teman saya yang nyorakin saya.Karena malu maka sejak saat itu saya tidak pernah lagi lewat sana, lebih baik berjalan memutar daripada di sorakin terus tiap hari 

Tidak butuh waktu lama bagi saya untuk bersosialisasi di kelas baru, selain karena sebagian mereka adalah teman sepermainan saya di rumah, tetapi juga karena saya memang senang mengenal lingkungan dan orang orang baru. Saya bisa langsung ”tune in” dengan suasana kelas, bahkan saya merasa sekolah di SD negeri memang lebih enak, selain karena jumlah mata pelajaran lebih sedikit, disana juga temennya lebih banyak. Status anak baru yang melekat ada pada saya ternyata tidak menghalangi saya untuk berprestasi dikelas, alhamdulillah sejak awal saya masuk saya bisa jadi ranking satu.

Selama sekolah 3 tahun disana, ada beberapa peristiwa yang masih melekat kuat di ingatan saya sampai sekarang. Saya ingat, ketika kelas Enam ada seleksi untuk mengikuti perlombaan olimpiade matematika tingkat SD se-Kotamadya Surabaya. Setiap kecamatan harus mengirimkan satu wakilnya, saya ditunjuk oleh sekolah untuk mewakili sekolah saya. Saya harus bersaing dengan kurang lebih 12 anak dari perwakilan masing masing sekolah lain. Alhamdulillah saya berhasil menang dan berhak mewakili kecamatan saya untuk mengikuti olimpiade tersebut.Tapi sayangnya dalam Olimpiade itu saya hanya bisa lolos seleksi babak pertama dan gagal lolos pada seleksi kedua. Tetapi walaupun kalah, saya sudah cukup senang dan bangga mendapatkan kesempatan berlomba dan bertemu teman-teman baru disana 

Peristiwa yang lain adalah pada saat menjelang kelulusan sekolah, saya dipanggil Pak Bisri di ruangannya untuk menghadap beliau secara pribadi, saya sedikit takut juga waktu itu, ada apa ini? kok tumben tumbenan Kepala Sekolah memanggil saya di ruangannnya. Setelah saya masuk, Beliau ternyata menyampaikan kabar gembira untuk saya dan sekolah, nilai ujian akhir EBTANAS saya mendapatkan hasil sempurna, 10,00, untuk pelajaran Matematika. Betapa kaget dan senangnya saya ketika mendengarnya, bahkan saya tidak pernah menyangka sedikit pun akan hal itu. Beliau pun menyalami saya, mengucapkan terima kasih dan kemudian menepuk pundak saya karena saya dianggap berhasil mengangkat nama baik sekolah. Itu berarti beliau ndak salah kan ketika menerima saya dulu sekolah disini walaupun tidak ada surat pindah??? hehehe


Mungkin inilah beberapa pengalaman masa kecil saya yang bisa saya ceritakan. Kadang-kadang cerita ini membuat saya tersenyum sendiri, betapa lugu dan keras kepalanya saya ketika dibohongin Cak Sikin untuk segera sekolah, betapa sedihnya dulu ketika Ibu tidak punya uang untuk sekolah sehingga harus meminjam uang dari Buyut, namun alhamdulillah smuanya bisa berakhir bahagia dan membanggakan . Semoga cerita masa kecil saya ini bisa kita ambil sisi positifnya dan bisa menjadi sesuatu yang bisa saya ceritakan untuk anak cucu saya di kemudian hari.

Robbana hablana min azwajina wa dzurriyatina qurrota a’yun, waj’alna lil muttaqina imama…
Ya Allah ya tuhan kami, karuniakan kepada kami istrii dan anak keturunan kami sebagai kesenangan / penyejuk mata, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa… Amiinnn 

No comments:

Post a Comment